Apitu.org~Bulan Maret tahun 2025 ini, yang bertepatan dengan bulan puasa ramadhan, adalah bulan yang tak mudah untuk dilupakan. Hujan turun tanpa mengenal jeda, merayapi jalanan, memasuki rumah-rumah, menyelusup ke setiap celah kehidupan warga Bekasi. Air mengambil segalanya: lemari, kasur, televisi, dan bahkan yang lebih tak terlihat—rasa aman. Dikutip pada laman :

https://www.kompasiana.com/maharprastowo/67cdcdcac925c477da4a35e2/setelah-banjir-kita-masih-di-sini?

Namun, setelah air surut, yang tersisa bukan hanya lumpur dan puing-puing. Ada tangan-tangan yang terulur. Salah satunya datang dari Asosiasi Praktisi Pendingin dan Tata Udara Indonesia (APITU). Mereka datang bukan membawa nasi bungkus atau selimut, melainkan sesuatu yang lain: perbaikan elektronik gratis.

Di sebuah sudut di Bojong Kulur, Kabupaten Bogor, Masberto Kingdom Studio Sablon menjelma menjadi tempat berlabuh bagi mereka yang kehilangan fungsi barang-barang elektroniknya. Di sana, kulkas yang mati, televisi yang tak lagi menyala, dan AC yang berkarat menemukan harapan.

“Banyak orang bisa memberi bantuan dengan sembako atau pakaian. Tapi, kami ingin memberi sesuatu yang mungkin tak terpikirkan, tapi penting,” ujar Yanto Kondang, Sekretaris Jenderal APITU Indonesia, pada suatu Minggu yang basah, 9 Maret 2025.

Ada sesuatu yang khas dalam kerja mereka. Teknisi-teknisi muda dan tua membongkar mesin dengan jemari cekatan, sesekali menghapus keringat yang jatuh di atas kabel-kabel. Bukan sekadar servis elektronik. Ini lebih dari itu. Ini tentang merawat yang tersisa, tentang memberi kesempatan kedua bagi sesuatu yang nyaris dibuang.

“Sudah lebih dari seribu perangkat yang kami perbaiki,” kata Yanto. Jumlah itu akan terus bertambah. Karena bagi warga yang kehilangan banyak hal, satu televisi yang kembali menyala bisa berarti banyak.

Agus Susilo, Ketua Umum APITU, menambahkan, ini bukan kali pertama mereka terjun ke lapangan. Lampung, Cianjur, dan banyak tempat lain sudah pernah mereka datangi. “Banjir, gempa, tanah longsor. Kami selalu ingin hadir. Karena ketika musibah datang, yang paling dibutuhkan bukan hanya bantuan. Tapi juga rasa bahwa kita tidak sendiri.”

Dan memang, di antara tumpukan barang rusak, suara alat-alat kerja yang berdenting, dan obrolan kecil warga yang menunggu barangnya diperbaiki, ada sesuatu yang menghangatkan: kepedulian yang tak selalu harus berbentuk uang, melainkan tangan-tangan yang masih sedia bekerja.

Karena setelah banjir, kita masih di sini. Bertahan. Memperbaiki.

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *